Jumat, 27 Maret 2009

Lelucon Parodi Asa Sepi


Seperti biasanya, blog ini memang dibuat khusus untuk menulis apa yang saya suka, saya rasa, dan tak perlulah banyak orang tahu apa yang saya tahu soal kejadian dan keunikan atau sekaligus kemuakan akan sebuah gambaran realitas. Ilmu sosial yang saya ambil memang seru dan sangat menjiwa dalam dada pun juga menggelora dalam rasa. memiliki kemapanan dan kematangan secara intelektual dkecerdasan tidak jadi garansi jaminan resmi. Seseorang mestilah hebat untuk punya jiwa sosial agar peka atas sekitarnya. Ah, tak perlulah berpanjang pembuka. Karena saya hanya ingin menulis anpa banyak diketahui orang lain.

Saya jadi terpikir soal sebuah program tayangan televisi beberapa masa silam. Namanya Audisi Pelawak TPI (mohon maaf saya sebut stasiun televisinya bukan karena promosi atau ikatan emosi). Tingkahnya berpolah banyak gaya atas para pesertanya, segala macam atribut untuk sebuah performa menuntut adanya kecakapan prima. Entah komedi yang disodorkan lucu atau tidak, entah pula apakah apa yang diucap masuk akal itu dapat memuatkan kedalam telinga atau tidak. Yang penting untuk mereka para peserta adalah tampilan. Ya, tampilan saya katakan. Pemirsa tidak perlu banyak bicara, cukup lihat aksinya, dan silahkan sms jika suka. Tak peduli apakah itu lucu atau tidak, itu pantas atau bukan, mengundang simpati hingga ingin lihat lagi ataukah tidak.

Panggung lawak yang mencetak para pelawak karbitan sungguh berbeda dengan panggung lawak komedi yang mencetak para pelawak sungguhan. Di masa-masa era kejayaan srimulat betapa para komediannya banyak tapi tidak berebutan dalam lempar-lemparan kata, lakon yang dimainkan acapkali berulang tapi pemirsa yang hadir tak pernah berhenti tertawa sepanjang acara. Benar-benar memuaskan pemirsa sekalipun apa yang dihasilkan sangat tak pantas bagi mereka para pelawak. Biaya bayaran honor mereka sungguh sulit dikatakan seimbang dengan apa yang mereka lakukan. Angota hiburan ini mesti berpanjang kaki menapaki jalan tanpa henti menuju satu pentas ke pentas seni lainnya. Namun lihatlah kini, apa yang diusahakan dahulu benar-benar melegenda, melanglang buana, serta sulit dilupa. Kehadiran mereka menjadi basis inspirasi tersendiri bagi mereka-mereka pelawak yang hadir belakangan. Tingkah yang ditiru, penghormatan yang selalu ditunggu dan digugu, juga sebuah ekspektasi tak terhingga akan nilai kehidupan sejatinya. Benar-benar memotivasi dan menginspirasi.

Tak ada ubahnya dengan panggung poltik negeri ini. Layaknya audisi pelawak TPI. Tanpa kontribusi, tak kenal siapa sosoknya, tiba-tiba wajahnya terpajang disana-sini menanti uluran tangan demi menyumbangkan suara. Mengiba dan menghiba para pelihatnya agar menyumbangkan suara. Itu pulalah tokoh model pemimpin di negeri ini. Saling lempar lelucon tak pantas dan guyonan tak beretika. Pendidikan lebih tinggi dari sekedar pelawak karbitan, tapi substansi lawakan sama dengan anak yang tidak disekolahkan. Berebut simpati yang tak lucu dan berebut hal yang tak perlu. Mengungkit hal yang seharusnya itulah sebuah kewajiban sebagai usaha untuk mencoba maju melawak lagi. Ah, begitulah dagelan. Kadang membuat terbahak tanpa henti, dan kadang membuat apa yang disebut anak jaman sekarang dengan kata-kata 'garing'. Sepi dan hambar, tidak memulai dari bawah dan tak tahu arti susah. Hanya tahu yang penting berguyon akan tetapi tak peduli lucu atau tidak. Garing dan basi.


Tidak ada komentar: